Skip to main content

Laporkan Dugaan Korupsi, Polda Jabar tetapkan Eks Pegawai BAZNAS Jadi Tersangka

Eks pegawai Baznas Jawa Barat, Tri Yanto, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Barat setelah melaporkan dugaan korupsi di Baznas Jabar senilai sekitar Rp13 miliar (Rp9,8 miliar dana zakat dan Rp3,5 miliar dana hibah APBD). Penetapan tersangka ini berdasarkan laporan Ketua Baznas Jabar, Achmad Ridwan, yang menuduh Tri Yanto melakukan pelanggaran UU ITE dan penyalahgunaan informasi rahasia. Tuduhan tersebut terkait dugaan penyebaran dokumen kerja sama antara Baznas Jabar dan pihak ketiga serta laporan pertanggungjawaban dana hibah APBD 2020, yang dianggap sebagai akses ilegal dan pembocoran dokumen rahasia.


Menurut Polda Jabar, kasus ini bermula dari informasi yang diterima pada November 2024, dan Tri Yanto ditetapkan sebagai tersangka pada 15 Mei 2025 dengan tuduhan berdasarkan Pasal 48 jo Pasal 32 (1) dan (2) UU ITE. Namun, langkah ini menuai kontroversi. LBH Bandung, yang mendampingi Tri Yanto, menyebutnya sebagai whistleblower yang seharusnya dilindungi, bukan dikriminalisasi. KPK juga menyatakan bahwa tindakan Tri Yanto merupakan bagian dari partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi dan memberikan apresiasi atas keberaniannya melaporkan dugaan korupsi.

Baznas Jabar sendiri membantah adanya korupsi, mengklaim bahwa hasil audit internal dan eksternal tidak menemukan bukti penyelewengan dana. Mereka juga menyatakan bahwa pemberhentian Tri Yanto pada 2023 tidak terkait dengan laporannya, melainkan karena prosedur hukum yang sah. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan LBH Bandung menilai penetapan tersangka ini sebagai upaya kriminalisasi terhadap whistleblower, yang dapat menghambat upaya pemberantasan korupsi. Sementara itu, proses penyelidikan dugaan korupsi di Baznas Jabar masih berlangsung, dengan laporan yang diterima Kejati Jabar pada 2024 masih dalam tahap klarifikasi.

Kasus Tri Yanto, mantan Kepala Kepatuhan dan Satuan Audit Internal Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Jawa Barat, menjadi sorotan karena ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Barat setelah melaporkan dugaan korupsi di lembaganya.

Berikut adalah detail informasi berdasarkan fakta yang tersedia:

1. Latar Belakang Kasus.
Tri Yanto melaporkan dugaan penyelewengan dana zakat sebesar Rp9,8 miliar (periode 2021-2023) dan dana hibah APBD Jawa Barat sekitar Rp3,5 miliar ke berbagai pihak, termasuk:
  • Inspektorat Daerah Provinsi Jawa Barat.
  • Pengawas internal Baznas RI.
  • Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
  • Kejaksaan Negeri Kota Bandung.
  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Laporan ini diajukan pada 3 September 2024, namun tidak mendapat tindak lanjut yang jelas hingga saat ini. Menurut Tri, dugaan korupsi ini melibatkan penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan Baznas Jabar.

2. Penetapan Tersangka.
Pada 15 Mei 2025, Polda Jawa Barat menetapkan Tri Yanto sebagai tersangka berdasarkan laporan dari Wakil Ketua III Baznas Jabar, Achmad Ridwan, dengan nomor laporan LP/B/108/III/2025/SPKT.DITSIBER/POLDA JAWA BARAT (diterima 20 November 2024). Tri dijerat dengan Pasal 48 jo Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU ITE No. 1 Tahun 2024 atas tuduhan: Akses ilegal terhadap dokumen internal Baznas Jabar. Pembocoran dokumen rahasia, termasuk dokumen kerja sama antara Baznas Jabar dan STIKES Dharma Husada serta laporan pertanggungjawaban dana hibah APBD 2020.

Menurut Polda Jabar, Tri diduga memindahkan dokumen tersebut ke laptop pribadinya pada Agustus 2023 dan menyebarkannya ke pihak luar tanpa izin sejak 16 Februari 2023. Barang bukti yang disita meliputi:
  • Dua unit laptop (milik pelapor dan Tri Yanto).
  • Dokumen cetak perjanjian kerja sama.
  • Tangkapan layar percakapan
Salinan laporan pengaduan masyarakat terkait dugaan korupsi dana hibah senilai Rp11,7 miliar (meskipun Tri melaporkan Rp3,5 miliar untuk dana hibah).
Pemeriksaan pertama sebagai tersangka dilakukan pada 26 Mei 2025 di Direktorat Reserse Siber Polda Jabar.

3. Kontroversi Kriminalisasi Whistleblower.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengecam penetapan tersangka ini sebagai bentuk kriminalisasi whistleblower. 

Alasan utama:

• Perlindungan hukum.
Tri Yanto seharusnya dilindungi berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan PP No. 43 Tahun 2018, yang menjamin pelapor korupsi dari serangan balik sepanjang laporan dilakukan dengan itikad baik.

• Informasi tidak disebar ke publik.
Tri hanya memberikan dokumen kepada pengawas internal Baznas, APIP Kementerian Agama, dan penegak hukum, bukan ke publik. ICW menduga adanya kebocoran informasi dari pihak-pihak tersebut.

• Konteks pelaporan 
Sebagai auditor internal, Tri memiliki akses sah ke dokumen tersebut selama masih bekerja, dan pelaporannya dianggap bagian dari upaya memperbaiki tata kelola dana zakat.

• Dampak sistemik.
Kriminalisasi ini dinilai menciptakan chilling effect, yaitu ketakutan masyarakat untuk melaporkan korupsi, yang merugikan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. ICW mencatat ada 6 kasus korupsi dana zakat dengan kerugian negara Rp12 miliar antara 2011-2024, melibatkan petinggi Baznas.

LBH Bandung juga menyoroti bahwa Tri telah mengajukan perlindungan ke LPSK dan Komnas HAM, yang masih dalam tahap penelaahan:
• Pemberhentian Tri Yanto.
Tri Yanto diberhentikan dari Baznas Jabar pada Januari 2023, sebelum pelaporan dugaan korupsi pada September 2024. Baznas Jabar, melalui Wakil Ketua IV Achmad Faisal, menyatakan pemecatan dilakukan karena: Rasionalisasi lembaga: Tri dinilai memiliki kinerja terendah.
• Tindakan indisipliner.
Namun, tidak dijelaskan secara rinci pelanggaran apa yang dimaksud.
• Keputusan sah 
Pemecatan diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung pada Februari 2024, yang menyatakan PHK Tri sah, dan pesangon telah dibayarkan penuh.

LBH Bandung menyebut pemecatan ini sepihak dan tanpa alasan jelas, meskipun Tri berstatus karyawan tetap, serta melihatnya sebagai bagian dari tekanan terhadap pelapor.

Bantahan Baznas Jabar.

Baznas Jabar membantah tuduhan korupsi dan kriminalisasi, dengan argumen:
1. Hasil audit.
Audit investigasi oleh Inspektorat Jabar dan Baznas RI menyatakan tidak ada bukti korupsi atau penyelewengan dana.
2. Status Tri bukan whistleblower.
Baznas Jabar menegaskan bahwa Tri tidak berhak menyandang status whistleblower karena akses dokumen dilakukan tanpa izin setelah pemecatan, dan dokumen disebarkan ke pihak yang tidak berwenang.
3. Komitmen transparansi.
Baznas Jabar mengklaim berkomitmen pada tata kelola yang bersih dan transparan, serta menyangkal bahwa pelaporan Tri menjadi alasan pemecatan.

Tanggapan Publik dan Lembaga

• KPK.
Memberikan apresiasi atas keberanian Tri Yanto sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, dan menegaskan bahwa pelapor seharusnya dilindungi.

• ICW.
Menilai kasus ini sebagai kemunduran pemberantasan korupsi, menyoroti buruknya tata kelola Baznas, dan mendesak Polda Jabar mengeluarkan SP3 (penghentian penyidikan) terhadap Tri.

• SAFEnet.
Menyebut kasus ini sebagai SLAPP (strategic litigation against public participation), di mana UU ITE digunakan untuk membungkam partisipasi publik.

• LBH Bandung. 
Berkomitmen mendampingi Tri secara hukum dan mendesak Polda Jabar untuk fokus pada substansi laporan korupsi, bukan mengkriminalisasi pelapor.

Status Terkini.

1. Proses hukum Tri Yanto.
Tri masih berstatus tersangka dan telah diperiksa pada 26 Mei 2025. LBH Bandung terus mendampingi secara hukum.

2. Penyelidikan dugaan korupsi.
Laporan Tri ke Kejati Jabar masih dalam tahap klarifikasi, tanpa kejelasan tindak lanjut.

3. Desakan publik.
Berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan media, mengawasi kasus ini sebagai ujian komitmen penegakan hukum terhadap korupsi dan perlindungan whistleblower.

Analisis dan Implikasi

Kasus ini menyoroti konflik antara perlindungan whistleblower dan penegakan UU ITE, yang sering disebut sebagai “pasal karet” karena kerentanannya disalahgunakan. Penetapan Tri sebagai tersangka dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya membungkam pelapor, terutama karena dokumen yang diaksesnya berkaitan dengan tugasnya sebagai auditor internal dan hanya dibagikan kepada pihak berwenang. 
Di sisi lain, Baznas Jabar bersikukuh bahwa tindakan Tri melanggar prosedur dan tidak memenuhi syarat sebagai pelaporan whistleblower. Kasus ini juga menambah daftar tantangan dalam tata kelola dana zakat di Indonesia, yang telah mencatatkan kerugian signifikan akibat korupsi dalam beberapa tahun terakhir.