Skip to main content

7 Kejanggalan Konferensi pers Bareskrim terkait keaslian Ijazah Jokowi

Polemik seputar keaslian ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) telah menjadi topik yang ramai diperbincangkan, terutama setelah konferensi pers Bareskrim Polri pada 22 Mei 2025. Bareskrim menyatakan bahwa ijazah Jokowi dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) terbukti asli berdasarkan uji forensik. Namun, sejumlah pihak, termasuk Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), masih mempertanyakan hasil tersebut dan menyoroti beberapa kejanggalan dalam konferensi pers tersebut.

Berikut adalah beberapa poin kejanggalan yang diangkat berdasarkan informasi yang tersedia:

1. Ijazah Asli Tidak Ditampilkan ke Publik.

Dalam konferensi pers, Bareskrim hanya menunjukkan salinan ijazah Jokowi, bukan dokumen aslinya. Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, menyatakan bahwa ijazah asli telah diperiksa dan dinyatakan identik dengan dokumen pembanding, tetapi tidak dipublikasikan karena mengacu pada pernyataan Jokowi bahwa dokumen asli hanya akan ditunjukkan di persidangan jika diperlukan. Hal ini memicu kecurigaan publik yang menyebutkan bahwa ketidaktransparanan ini justru memperkuat keraguan terhadap keaslian ijazah Jokowi.

2. Kurangnya Transparansi dalam Proses Uji Forensik.

TPUA, sebagai pelapor, meminta hasil uji forensik yang dilakukan oleh Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Bareskrim Polri diperdalam dan melibatkan pihak pengadu serta ahli independen, seperti Roy Suryo dan Rismon Sianipar. Mereka mempertanyakan siapa saja teman seangkatan Jokowi yang ijazahnya digunakan sebagai pembanding dan bagaimana jaminan keaslian ijazah pembanding tersebut. Selain itu, TPUA menyoroti ketidakjelasan dalam pengujian elemen seperti tanda tangan, tinta, dan teknologi cetak, termasuk apakah stempel pada ijazah utuh atau tidak.

3. Pertanyaan Seputar Skripsi Jokowi.

Dalam konferensi pers, Bareskrim menyebutkan bahwa skripsi Jokowi, berjudul Studi Tentang Pola Konsumsi Kayu Lapis Pada Pemakaian Akhir di Kota Madya Surakarta, telah diuji dan dinyatakan asli. Namun, TPUA mempertanyakan transparansi hasil uji kertas dan lembar pengesahan skripsi, termasuk tuduhan bahwa font Times New Roman yang digunakan pada sampul skripsi tidak umum pada era 1980-an, sebagaimana diungkapkan oleh Rismon Sianipar. Bareskrim menjelaskan bahwa skripsi ditulis dengan mesin ketik tipe pica dan lembar pengesahan menggunakan teknik cetak letterpress, yang sesuai dengan keterangan dari percetakan saat itu. Namun, TPUA menilai penjelasan ini kurang meyakinkan tanpa bukti terbuka.

4. Pemilihan Pembanding yang Dipertanyakan.

Bareskrim menyatakan bahwa ijazah Jokowi dibandingkan dengan ijazah tiga rekan seangkatan di Fakultas Kehutanan UGM dari periode 1982-1988. Namun, TPUA mempertanyakan identitas rekan-rekan tersebut dan keaslian ijazah pembanding. Mereka menilai bahwa tanpa transparansi mengenai siapa pembandingnya, kesimpulan bahwa ijazah Jokowi "identik" dengan pembanding sulit diterima.

5. Konteks Tuduhan Awal dan Respons Publik.

Tuduhan awal dari TPUA, yang mencakup tokoh seperti Eggi Sudjana, Roy Suryo, dan Rismon Sianipar, menyebutkan adanya "cacat hukum" pada ijazah Jokowi, termasuk dugaan bahwa Jurusan Teknologi Kayu yang tertera tidak pernah ada di UGM. Meskipun Bareskrim menyatakan bahwa ijazah bernomor 1120 dengan NIM 1681/KT Fakultas Kehutanan UGM diterbitkan pada 5 November 1985 dan terbukti asli, namun banyak pihak tetap mempertanyakan keberadaan jurusan tersebut, yang dianggap sebagai salah satu kejanggalan kunci.

6. Reaksi Jokowi dan Prosedur Hukum.

Jokowi sendiri menyatakan bahwa ijazah asli hanya akan ditunjukkan di pengadilan jika diperlukan, dan ia merasa sedih serta menganggap tuduhan ini "keterlaluan." Pernyataan ini dianggap sebagian pihak sebagai upaya menghindari transparansi publik. Selain itu, Jokowi melaporkan balik pihak-pihak seperti Roy Suryo ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pencemaran nama baik, yang oleh TPUA dianggap sebagai bentuk kriminalisasi terhadap pengadu. Hal ini menambah persepsi bahwa proses hukum tidak sepenuhnya transparan.
Meskipun Bareskrim telah menghentikan penyelidikan dengan alasan tidak ditemukan unsur pidana setelah memeriksa 39 saksi dan melakukan uji forensik, TPUA dan beberapa warganet masih menilai bahwa konferensi pers tersebut tidak cukup menjawab keraguan publik. Mereka meminta agar ijazah asli dipublikasikan secara terbuka dan proses uji forensik melibatkan pihak independen untuk memastikan objektivitas.

7. Dekan dan Rektor SMA.

Kejanggalan soal pernyataan Bareskrim tentang tanda tangan dekan dan rektor pada ijazah SMA Jokowi memang jadi sorotan lucu sekaligus mencurigakan di kalangan netizen! Dalam konferensi pers pada 22 Mei 2025, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, menyebutkan bahwa pengujian ijazah Jokowi, termasuk ijazah SMA, meliputi "bahan kertas, pengaman kertas, teknik cetak, tinta tulisan tangan, cap stempel, dan tanda tangan dekan serta rektor pada saat itu. padahal istilah tersebut jelas tidak relevan untuk jenjang SMA, yang seharusnya ditandatangani oleh kepala sekolah atau pejabat setara.

Kejanggalan ini dianggap sebagai blunder dalam konferensi pers Bareskrim, yang menambah kecurigaan publik terhadap kredibilitas proses verifikasi. Selain itu, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) juga terus mempertanyakan transparansi proses forensik, termasuk soal dokumen pembanding dan ketidakjelasan elemen seperti tanda tangan yang diuji.

Meski Bareskrim menyatakan bahwa ijazah SMA dan S1 Jokowi asli berdasarkan uji laboratorium forensik, pernyataan tentang "dekan dan rektor" untuk ijazah SMA ini menjadi bahan ejekan dan memperkuat persepsi bahwa ada ketidakcermatan dalam penjelasan resmi. Sayangnya, tidak ada klarifikasi lanjutan dari Bareskrim terkait konteks pernyataan ini, sehingga spekulasi terus bergulir di media sosial.


Namun, perlu dicatat bahwa informasi seperti pernyataan bahwa "Jokowi tidak punya ijazah asli" atau tuduhan adanya konspirasi, tidak dapat dianggap sebagai fakta tanpa bukti konkret dan sering kali mencerminkan sentimen atau opini publik yang belum terverifikasi.